Tes VDRL vs RPR: Apa Sih Bedanya? Panduan Lengkap Deteksi Syifilis

Table of Contents

Sifilis, penyakit menular seksual (PMS) yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum, memang bikin khawatir ya. Untungnya, ada tes darah yang bisa membantu mendeteksinya. Dua tes yang paling umum dipakai untuk skrining sifilis adalah VDRL dan RPR. Meski tujuannya sama-sama mencari tanda-tanda infeksi sifilis, keduanya punya beberapa perbedaan mendasar lho. Nah, yuk kita bedah satu per satu biar nggak bingung!

VDRL RPR laboratory test
Image just for illustration

Apa Itu Tes VDRL?

VDRL itu singkatan dari Veneral Disease Research Laboratory. Ini adalah salah satu tes sifilis tertua yang masih sering dipakai. Simpelnya, tes ini mencari antibodi non-treponemal di dalam darah atau cairan tubuh lain (kayak cairan otak/CSF).

Antibodi non-treponemal itu bukan antibodi spesifik untuk bakteri Treponema pallidum. Jadi, bakteri sifilis saat menginfeksi tubuh kita akan merusak sel-sel, termasuk melepaskan lipid (lemak) dari sel yang rusak. Tubuh kita kemudian bereaksi dengan membentuk antibodi terhadap lipid ini, terutama terhadap zat yang namanya cardiolipin. Nah, antibodi inilah yang dideteksi sama tes VDRL.

Tes VDRL dilakukan dengan mencampurkan serum atau plasma darah pasien dengan antigen (bahan yang memicu reaksi) yang mengandung cardiolipin. Jika ada antibodi non-treponemal dalam jumlah signifikan, mereka akan bereaksi dengan antigen, membentuk gumpalan kecil-kecil yang bisa dilihat di bawah mikroskop. Proses penggumpalan ini disebut flocculation.

Cara Kerja VDRL Lebih Detail

Agak teknis sedikit, tapi intinya VDRL itu tes mikroskopis. Maksudnya, hasil reaksinya (gumpalan) harus dilihat menggunakan mikroskop. Jadi, ada suspensi antigen VDRL (yang sudah distandardisasi) dicampur dengan sampel serum pasien di atas plat kaca khusus. Kemudian, plat ini digoyangkan atau dirotasi dengan kecepatan tertentu selama beberapa menit. Setelah itu, teknisi laboratorium akan mengamati campuran di bawah mikroskop dengan pembesaran tertentu untuk melihat apakah ada partikel yang menggumpal.

Jika ada gumpalan, berarti hasilnya reaktif. Kalau tidak ada gumpalan, berarti non-reaktif. Tingkat gumpalan ini juga bisa diukur secara kuantitatif dengan mengencerkan sampel serum secara bertahap (misalnya 1:2, 1:4, 1:8, dst) untuk menentukan kadar antibodi atau titer. Titer yang lebih tinggi (misal 1:32) biasanya menunjukkan infeksi yang lebih aktif atau beban bakteri yang lebih banyak dibandingkan titer rendah (misal 1:2).

Kelebihan dan Kekurangan VDRL

  • Kelebihan:
    • Sudah lama digunakan dan datanya banyak.
    • Bisa diukur secara kuantitatif (titer) untuk memantau respon pengobatan.
    • Bisa dilakukan pada sampel cairan serebrospinal (CSF) untuk mendeteksi neurosifilis (sifilis yang menyerang sistem saraf pusat).
  • Kekurangan:
    • Membutuhkan mikroskop dan teknisi yang terlatih untuk membaca hasil.
    • Prosesnya mungkin sedikit lebih lama dibanding tes cepat lainnya.
    • Paling penting, tes ini rentan terhadap hasil positif palsu (false positive).

Apa Itu Tes RPR?

RPR itu singkatan dari Rapid Plasma Reagin. Nah, tes RPR ini sebenarnya mirip banget sama VDRL. Sama-sama mendeteksi antibodi non-treponemal (antibodi terhadap cardiolipin) yang terbentuk akibat kerusakan sel akibat infeksi sifilis.

Bedanya yang paling mencolok ada di cara melihat hasilnya. Antigen yang dipakai pada tes RPR sudah dimodifikasi dengan menambahkan partikel karbon hitam. Jadi, kalau ada antibodi non-treponemal di sampel darah, mereka akan bereaksi dengan antigen dan membentuk gumpalan yang bisa langsung terlihat dengan mata telanjang (macroscopic), tanpa perlu mikroskop. Gumpalannya terlihat sebagai partikel karbon yang menyatu.

Tes RPR juga dilakukan di atas plat kaca khusus dan dirotasi seperti VDRL. Karena hasilnya bisa dilihat langsung, tes ini sering disebut “rapid” atau cepat.

Rapid Plasma Reagin RPR test kit
Image just for illustration

Cara Kerja RPR Lebih Detail

Mirip VDRL, sampel serum atau plasma pasien dicampur dengan suspensi antigen RPR yang sudah mengandung partikel karbon. Campuran ini kemudian dirotasi. Jika antibodi non-treponemal ada, mereka akan mengikat antigen berkarbon, menyebabkan partikel karbon menggumpal dan membentuk flokulasi yang terlihat sebagai bintik-bintik hitam di tengah latar belakang yang abu-abu merata.

Hasilnya juga reaktif (ada gumpalan) atau non-reaktif (tidak ada gumpalan, suspensi tetap merata). RPR juga bisa diukur titernya dengan cara pengenceran bertahap, sama seperti VDRL.

Kelebihan dan Kekurangan RPR

  • Kelebihan:
    • Cepat dan mudah dilakukan, tidak butuh mikroskop.
    • Cocok untuk skrining massal atau di daerah terpencil/dengan sumber daya terbatas.
    • Hasil bisa langsung dibaca secara makroskopis.
    • Bisa diukur secara kuantitatif (titer).
  • Kekurangan:
    • Juga rentan terhadap hasil positif palsu, mirip VDRL.
    • Tidak bisa digunakan pada sampel cairan serebrospinal (CSF).
    • Beberapa orang mungkin mengalami “prozone phenomenon” pada titer antibodi yang sangat tinggi, di mana hasilnya terlihat negatif atau lemah reaktif pada pengenceran awal, padahal sebenarnya positif kuat. Ini biasanya diatasi dengan melakukan pengenceran lebih lanjut.

Jadi, Apa Saja Perbedaan Utama Antara VDRL dan RPR?

Setelah tahu cara kerja masing-masing, kita bisa lihat nih titik-titik perbedaannya. Biar gampang, kita bikin tabel aja ya.

Aspek Tes VDRL Tes RPR
Nama Lengkap Veneral Disease Research Laboratory Rapid Plasma Reagin
Antigen Mengandung cardiolipin Mengandung cardiolipin + partikel karbon
Visualisasi Hasil Mikroskopis (membutuhkan mikroskop) Makroskopis (terlihat mata telanjang)
Kecepatan Sedikit lebih lama proses pembacaannya Cepat (Rapid) karena langsung terlihat
Kemudahan Membutuhkan teknisi terlatih & mikroskop Lebih mudah, bisa dilakukan di lokasi skrining
Sampel CSF Bisa digunakan untuk tes cairan serebrospinal Tidak bisa digunakan untuk tes cairan serebrospinal
Sensitivitas & Spesifisitas Sangat mirip dengan RPR Sangat mirip dengan VDRL
Potensi Positif Palsu Ya, serupa dengan RPR Ya, serupa dengan VDRL

Penjelasan Lebih Lanjut Mengenai Perbedaan

1. Visualisasi Hasil: Ini perbedaan paling kentara. VDRL itu “diamati” di bawah mikroskop, jadi butuh alat tambahan dan keahlian khusus membaca gumpalan kecil. Sementara RPR, karena ada partikel karbon yang bikin gumpalannya terlihat hitam, hasilnya langsung kelihatan di plat. Ini yang bikin RPR lebih user-friendly untuk skrining cepat.

2. Kemudahan dan Lokasi: Karena RPR nggak butuh mikroskop, tes ini lebih praktis dibawa ke mana-mana, misalnya untuk skrining di lapangan, puskesmas, atau unit transfusi darah yang nggak punya fasilitas lab selengkap rumah sakit besar. VDRL biasanya lebih sering dilakukan di lab yang lebih mumpuni.

3. Sampel Cairan Otak (CSF): Ini poin penting lain. Kalau dokter curiga sifilis sudah menyerang otak dan sumsum tulang belakang (neurosifilis), mereka akan mengambil sampel cairan serebrospinal. Nah, untuk mendeteksi antibodi sifilis di cairan ini, tes VDRL adalah pilihan standar. RPR tidak bisa digunakan pada sampel CSF.

4. Antigen: Meskipun sama-sama mendeteksi antibodi terhadap cardiolipin, antigen yang digunakan pada RPR sedikit dimodifikasi dengan menambahkan partikel karbon, semata-mata agar reaksinya bisa terlihat secara makroskopis. Struktur dasar antigen cardiolipin-nya mirip.

Persamaan VDRL dan RPR

Selain perbedaan, keduanya juga punya banyak persamaan mendasar lho, karena memang didesain untuk tujuan yang sama sebagai tes skrining sifilis.

  1. Deteksi Antibodi Non-Treponemal: Keduanya sama-sama mendeteksi antibodi yang tidak spesifik langsung terhadap bakteri Treponema pallidum, melainkan antibodi yang terbentuk sebagai respon tubuh terhadap kerusakan sel yang disebabkan oleh infeksi (khususnya terhadap cardiolipin).
  2. Tes Skrining: Baik VDRL maupun RPR utamanya digunakan sebagai tes awal atau skrining untuk mendeteksi kemungkinan infeksi sifilis.
  3. Bisa Diukur Kuantitatif: Keduanya bisa memberikan hasil dalam bentuk titer (pengenceran), yang berguna untuk memperkirakan tingkat keparahan infeksi dan yang paling penting, untuk memantau keberhasilan pengobatan.
  4. Potensi Positif Palsu: Karena mendeteksi antibodi non-spesifik, keduanya punya risiko memberikan hasil positif palsu. Ini artinya, hasil reaktif pada VDRL atau RPR tidak selalu 100% berarti sifilis.
  5. Potensi Negatif Palsu: Pada tahap awal infeksi (sebelum tubuh membentuk cukup antibodi) atau pada tahap sangat lanjut/terlalu lama tanpa pengobatan, kedua tes ini juga bisa memberikan hasil negatif palsu.

Kapan Tes VDRL dan RPR Digunakan?

Tes-tes ini punya peran penting dalam pengendalian sifilis:

  • Skrining: Ini penggunaan paling umum. Dilakukan pada kelompok yang berisiko tinggi atau sebagai bagian dari pemeriksaan kesehatan rutin, misalnya:
    • Ibu hamil (penting banget untuk mencegah sifilis kongenital pada bayi).
    • Donor darah.
    • Orang yang memiliki banyak pasangan seksual atau berisiko tinggi PMS lainnya.
    • Narapidana.
    • Sebelum menikah (terkadang).
  • Diagnosis: Ketika seseorang menunjukkan gejala yang dicurigai sifilis (seperti luka chancre, ruam), tes VDRL atau RPR bisa jadi langkah awal. Hasil reaktif akan diikuti dengan tes konfirmasi.
  • Pemantauan Pengobatan: Setelah seseorang didiagnosis sifilis dan menjalani pengobatan (biasanya dengan antibiotik, terutama penisilin), tes VDRL atau RPR akan diulang secara berkala. Titer antibodi non-treponemal seharusnya menurun secara signifikan (misalnya turun 4 kali lipat atau lebih, seperti dari 1:32 jadi 1:8 atau 1:4) dalam 6-12 bulan setelah pengobatan yang berhasil. Jika titer tidak turun atau malah naik, ini bisa menandakan kegagalan pengobatan atau re-infeksi.

Memahami Hasil Tes (Reaktif vs. Non-Reaktif)

  • Non-Reaktif: Biasanya berarti tidak ada infeksi sifilis saat ini. Namun, ingat kemungkinan negatif palsu pada tahap awal infeksi atau sangat lanjut.
  • Reaktif: Ini artinya antibodi non-treponemal terdeteksi dalam jumlah yang signifikan. Hasil reaktif tidak otomatis berarti Anda positif sifilis. Ini bisa jadi karena:
    • Infeksi sifilis aktif.
    • Infeksi sifilis yang sudah diobati (titer bisa tetap reaktif rendah selama bertahun-tahun atau seumur hidup - ini namanya serofast reaction).
    • Positif palsu karena kondisi lain.

Pentingnya Titer

Kalau hasilnya reaktif, biasanya akan dilaporkan juga titernya, misalnya RPR Reaktif 1:16 atau VDRL Reaktif 1:4. Angka titer ini menunjukkan seberapa banyak serum harus diencerkan agar reaksi masih terlihat. Titer yang lebih tinggi (misal 1:32, 1:64) umumnya berhubungan dengan infeksi yang lebih aktif atau baru. Titer rendah (misal 1:1, 1:2, 1:4) bisa menandakan infeksi sudah lama atau sudah pernah diobati, atau bahkan positif palsu.

Kapan Hasilnya Bisa Positif Palsu?

Ini fakta penting yang harus diingat! VDRL dan RPR bisa memberikan hasil positif palsu pada orang yang tidak menderita sifilis. Kenapa? Karena antibodi terhadap cardiolipin (yang dideteksi kedua tes ini) bisa muncul akibat kondisi lain yang tidak terkait sifilis. Penyebab positif palsu antara lain:

  • Kehamilan.
  • Penyakit autoimun (seperti lupus).
  • Infeksi virus lain (HIV, mononukleosis, hepatitis, cacar air, campak).
  • Infeksi bakteri lain (malaria, demam berdarah, lepra, pneumonia mikoplasma).
  • Penyalahgunaan obat suntik.
  • Usia lanjut.
  • Kondisi akut lainnya (baru saja divaksinasi, cedera parah).

Inilah kenapa hasil reaktif VDRL atau RPR selalu harus dikonfirmasi dengan tes lain yang lebih spesifik.

Tes Konfirmasi: Langkah Selanjutnya Setelah VDRL/RPR Reaktif

Karena VDRL dan RPR bisa positif palsu, setiap hasil reaktif dari tes skrining ini wajib diikuti dengan tes konfirmasi. Tes konfirmasi ini disebut tes treponemal.

Tes treponemal mendeteksi antibodi yang spesifik terhadap bakteri Treponema pallidum itu sendiri. Antibodi ini biasanya tetap ada di tubuh seumur hidup, bahkan setelah infeksi sifilis berhasil diobati.

Contoh tes treponemal antara lain:
* TPHA (Treponema pallidum Hemagglutination Assay)
* TPPA (Treponema pallidum Particle Agglutination Assay) - lebih sensitif dari TPHA
* FTA-ABS (Fluorescent Treponemal Antibody Absorption) - tes treponemal tertua dan sensitif
* EIA (Enzyme Immunoassay)
* CIA (Chemiluminescence Immunoassay)

Jika VDRL atau RPR reaktif, dan tes treponemal juga reaktif, barulah diagnosis sifilis bisa ditegakkan. Jika VDRL/RPR reaktif tapi tes treponemal non-reaktif, kemungkinan besar itu positif palsu.

Mana yang Lebih Baik, VDRL atau RPR?

Tidak ada yang secara mutlak “lebih baik”. Pemilihan antara VDRL dan RPR seringkali tergantung pada fasilitas laboratorium, ketersediaan reagen, dan tujuan tes.

  • RPR sering dipilih untuk skrining massal karena lebih cepat, mudah, dan tidak butuh mikroskop.
  • VDRL masih penting jika tes perlu dilakukan pada cairan serebrospinal (CSF) untuk mendeteksi neurosifilis.
  • Dari segi sensitivitas dan spesifisitas untuk mendeteksi sifilis pada darah, keduanya sangat mirip. Kinerja mereka bervariasi tergantung stadium sifilis, tapi perbedaannya minimal satu sama lain.

Yang paling penting adalah: keduanya adalah tes skrining. Hasil reaktif dari tes mana pun harus dikonfirmasi dengan tes treponemal yang spesifik.

Fakta Menarik Seputar Tes Sifilis

  • Tes VDRL dikembangkan pada tahun 1940-an. RPR datang belakangan sebagai penyempurnaan untuk skrining yang lebih cepat.
  • Antibodi non-treponemal yang dideteksi VDRL dan RPR biasanya muncul 4-6 minggu setelah infeksi awal, atau sekitar 1-2 minggu setelah luka sifilis primer (chancre) muncul.
  • Titer pada VDRL dan RPR cenderung paling tinggi pada stadium sekunder sifilis, saat ruam muncul di seluruh tubuh. Pada stadium sifilis laten atau tersier, titer bisa menurun atau bahkan menjadi non-reaktif pada beberapa kasus (meskipun jarang).
  • Setelah pengobatan yang berhasil, titer VDRL atau RPR biasanya menurun dan pada banyak kasus menjadi non-reaktif dalam 1-2 tahun. Namun, pada sebagian orang, terutama yang diobati saat stadium lanjut, titer rendah bisa bertahan seumur hidup (serofast). Tes treponemal akan tetap reaktif seumur hidup.

Tips Penting untuk Anda

  1. Jangan Panik: Jika hasil VDRL atau RPR Anda reaktif, jangan langsung panik. Ingat kemungkinan positif palsu. Konsultasikan segera dengan dokter.
  2. Lakukan Tes Konfirmasi: Dokter pasti akan merekomendasikan tes konfirmasi (tes treponemal) untuk memastikan apakah Anda benar-benar terinfeksi sifilis.
  3. Diskusikan Riwayat Medis: Beritahu dokter tentang riwayat medis Anda, termasuk penyakit kronis, autoimun, atau infeksi lain yang pernah dialami, karena ini bisa memengaruhi hasil tes.
  4. Ikuti Anjuran Dokter: Jika diagnosis sifilis ditegakkan, ikuti program pengobatan yang diberikan dokter sampai tuntas.
  5. Tes Ulang: Jika Anda didiagnosis dan diobati, tes VDRL/RPR akan diulang secara berkala untuk memantau respon pengobatan. Penurunan titer adalah tanda keberhasilan.

Memahami perbedaan dan persamaan antara VDRL dan RPR membantu kita menghargai peran masing-masing dalam upaya mendeteksi dan mengendalikan sifilis. Keduanya adalah alat yang berharga, tetapi interpretasinya selalu membutuhkan panduan profesional dan, yang terpenting, selalu butuh konfirmasi dengan tes yang lebih spesifik.

Semoga penjelasan ini membantu Anda lebih paham ya! Punya pengalaman atau pertanyaan soal tes ini? Yuk, share di kolom komentar!

Posting Komentar